Budaya
Maluku
Maluku
atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas adalah salah
satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999,
sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara,
dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang
dikenal dengan Kepulauan Maluku.
Suku
Bangsa Maluku
Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras
suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga dan
beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.
Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki
ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa,
lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat
musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut
ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis
dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku
kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan
kegiatan utama bagi kaum pria.
Bahasa yang digunakan di provinsi Maluku adalah Bahasa
Melayu Ambon, yang merupakan salah satu dialek bahasa Melayu. Sebelum bangsa
Portugis menginjakan kakinya di Ternate (1512), bahasa Melayu telah ada di
Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan. Bahasa yang dipakai di
Ambon sedikit banyak telah dipengaruhi oleh bahasa-bahasa di Sulawesi yakni
suku-suku Buton,Bugis atau Makassar. Bahasa Indonesia, seperti di wilayah
Republik Indonesia lainnya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi
seperti di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah. Bahasa Melayu
dialek Ambon dipahami oleh hampir semua penduduk di provinsi Maluku dan
umunya,dipahami juga oleh masyarakat Indonesia Timur lain seperti
Ternate,Manado dll.
Seni & Budaya Maluku
Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang)
dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi
yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna
musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa.
Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong
dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang yang merupakan
serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja dengan beberapa
lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit
Kerang).
Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik
petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan
Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari
dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana terdapat penggunaan alat
musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian
tradisional seperti Katreji.
Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari
budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab
datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran
budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat,
seperti rebana dan seruling yang mencirikan alat musik gurun pasir.
Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku
terkenal handal dalam bernyanyi. Sejak dahulu pun mereka sudah sering bernyanyi
dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak ayal bila sekarang terdapat
banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda
seperti Broery Pesulima, Harvey Malaihollo, Masnait Group dan Yopie Latul. Belum
lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth
Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone,
Harvey Malaihollo, Glen Fredly, Ello Tahitu, Moluccas dan lain-lain.
Tarian
Tari yang terkenal adalah tari Cakalele yang
menggambarkan Tari perang. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria dewasa
sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai).
Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang
menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini
sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang
sangat menarik.
Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda
adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan
pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama
dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu
akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal
ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang
masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses
biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas,
guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih
menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku
sampai sekarang.
Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah
Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap
anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta
melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua
maupun muda.
Selain itu, adapula Tarian Bambu Gila. Tarian bambu
gila adalah tarian khusus yang bersifat magis, berasal dari desa Suli. Keunikan
tarian ini adalah para penari seakan-akan dibebani oleh bambu yang dapat
bergerak tidak terkendali dan tarian ini bisa diikuti oleh siapa saja.
Tokoh Maluku
Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di
Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku,
16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan
Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah
yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura
tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang
bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.
Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur
Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau
dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua
seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari
kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini
dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah).
Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia
pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata
"Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti
Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan.
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan
kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan
politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta
pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain
dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir
di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak
untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari
dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini
dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat
tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Maka
pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih,
Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan
panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria
(kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi
perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja
Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur
pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat
biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang
Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer
yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang
Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan
angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang
dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip
Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat
seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat
dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan
mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di
kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan
sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan
Nasional Indonesia.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku
http://seninusantara.blogspot.com/2011/09/seni-budaya-maluku.html
No comments:
Post a Comment